Tak dapat dipungkiri bahwa Malaysia merupakan salah satu negara dengan pertumbuhan dan perkembangan Lembaga Keuangan Syariah (LKS) yang sangat pesat. Hal tersebut dibuktikan dengan perbankan syariah di Malaysia yang sudah menguasai pasar sekitar 20%. Keberhasilan sebuah Lembaga Keuangan Syariah (LKS) tak hanya ditentukan dengan pertumbuhan nilai aset dan tingginya market share saja, namun sangat ditentukan pula oleh kualitas Sumber Daya Insani para pelaku/praktisi Lembaga Keuangan Syariah itu pula, sehingga LKS dapat berjalan sesuai dengan prinsip syariah dan dapat dimanfaatkan masyarakat luas sebagai bagian dari sistem keuangan yang rahmatan lil ‘alamin.
Islamic Cooperative Banks (ICBs) merupakan salah satu dari banyaknya Lembaga Keuangan Syariah non bank yang ada di Malaysia. ICBs yang dapat kita jumpai di Indonesia yakni berupa Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) atau yang kini dikenal dengan sebutan Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS). Tak ubahnya sebuah perbankan syariah, dalam ICBs juga terdapat syariah members (anggota syariah) yang tugasnya adalah mengaudit, memeriksa dan memastikan sistem keuangan agar sesuai dengan prinsip syariah, dengan kata lain, anggota syariah adalah internal auditor dalam ICBs. Anggota syariah akan mempengaruhi auditor syariah dalam melaksanakan tugasnya. Selain anggota syariah, komite syariah juga sebagai anggota intern yang bertugas sebagai badan penasihat yang dibentuk disetiap LKS di Malaysia untuk memastikan praktik keuangan syariah secara keseluruhan lembaga dapat beroperasi sesuai dengan prinsip syariah.
Menurut Hasan (2011), pentingnya pengawasan syariah di ICBS juga merupakan bagian dari tata kelola perusahaan. Meskipun syariah members (anggota syariah) juga merupakan karyawan ICBs, mereka dituntut untuk memiliki sifat independen dalam menjalankan tugasnya. Independensi seorang anggota syariah sangat diperlukan untuk menjaga kualitas audit yang berpengaruh terhadap kualitas keseluruhan dan kredibilitas dalam pelaporan keuangan. Kurangnya independensi dapat merusak kepercayaan publik. Seorang anggota syariah yang ideal harus memiliki pengetahuan dan keahlian audit, akuntansi dan pastinya pengetahuan syariah yang baik. Semakin tinggi pengetahuan dan keahlian seorang anggota syariah, maka tingkat independensinya juga semakin baik.
Oleh karena itu Moh. Rodzi dan Al-Hasan (Ahmad & Al-Aidaros, 2015) melakukan penelitian berkenaan dengan kebutuhan independensi seorang anggota syariah dalam ICBs. Penelitian tersebut membuktikan bahwa perlu independensi total dari anggota syariah melalui auditor syariah untukmemastikan compliant syariah (kepatuhan syariah) pada produk dan kegiatan dalam ICBs di Malaysia dalam rangka meningkatkan kepercayaan publik pada ICBs. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa 52% auditor syariah sudah cukup independen dengan stakeholders ICBs untuk melakukan tugas mereka dengan profesional. Selanjutnya, survey membuktikan bahwa 67% auditor syariah diberi kebebasan penuh untuk melakukan tugasnya tanpa harus ada intervensi oleh komite syariah selama proses audit. Bukti yang diperoleh dari penelitian yang sama menemukan bahwa ada keterlibatan Komite Syariah bahkan pada tahap perencanaan audit. Selain itu, 85% responden setuju bahwa masih terdapat kekurangan pada pengetahuan dan keahlian dari auditor syariah dalam melakukan tugas audit mereka.
Maka, perlu ada solusi yang tepat dalam menyelesaikan masalah ini, salah satu yang perlu dilakukan adalah upgrade pengetahuan dan keahlian khususnya dibidang audit syariah dan akuntansi syariah untuk para auditor syariah agar lebih meningkatkan independensi mereka sehingga integritasnya pun meningkat dan pastinya mereka akan lebih profesional dalam menjalankan tugas audit mereka. Auditor syariah yang independen dapat mencerinkan independeensi anggota syariah ICBs. Sayangnya, jumlah tim auditor syariah yang ada saat ini masih sedikit. Pada akhirnya diperlukan monitoring independensi anggota syariah oleh komite syariah. Oleh karena itu, independensi anggota syariah sangat dibutuhkan tentunya bukan hanya dalam ICBs, namun juga pada Lembaga Keuangan Syariah sehingga dapat menciptakan harmonisasi antar stakeholders pada LKS yang bersangkutan.
Sayangnya saat ini dalam Lembaga Keuangan Syatiah di Indonesia belum ada praktisi yang berfungsi khusus sebagai praktisi syariah. Saat ini, peran praktisi syariah dalam sebuah LKS masih dipegang oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang juga berperan sebagai pengawas/badan penasihat dalam memastikan syariah compliance dalam aktivitas bisnis (praktik) LKS, selain itu memastikan sistem keuangannya agar tetap sesuai dengan prinsip syariah. Penulis berharap untuk diadakan syariah members dalam setiap LKS di Indonesia, baik itu dalam Perbankan Syariah, BMT, KJKS, maupun Lembaga Keuangan Syariah lainnya demi menciptakan kepatuhan syariah dalam produk maupun sistem keuangan LKS.
Dirivew Dari:
Ahmad, M. R., & Al-Aidaros, A.-A. (2015). The Need of Independent Shariah Members in Islamic; An Empirical Study of Professional. International Review of Management and Business Research , 4, 110-120.
Reviewer:
Puspita Arianti, saya anak pertama dari tiga bersaudara. Saya lahir di Jakarta, 29 September 1994. Hobi saya adalah menulis dan traveling. Saya Tinggal di Jl. Parung Tengah No. 77 Rt/rw: 004/03, Kelurahan: Duren Mekar, Kecamatan: Bojongsari, Depok, Jawa Barat. Saat ini saya adalah Mahasiswi Aktif semester 7 jurusan Akuntansi Syariah di STEI SEBI.
——————————————————————————
Disclaimer :
Bahwa segala tulisan yang ada semata-mata hanya mencerminkan pemikiran penulis dan bukan pemikiran CISFED, CISFED tidak mengendorse ataupun bertanggung jawab atas kesalahan data atau informasi yang ada.