Berikut berbagai liputan media online atas pernyataan pers Chairman Center for Islamic Studies in Finance, Economics, and Development (CISFED), Farouk Abdullah Alwyni, terkait posisi Indonesia dalam studi daya saing global oleh “International Institute for Management Development (IMD), Swiss” di “The 2017 IMD World Competitiveness Yearbook.”
Isi selengkapnya dari pernyataan pers tersebut terlampir di bawah.
http://ekonomi.metrotvnews.com/makro/aNrw016b-dua-kunci-memperbaiki-daya-saing-indonesia
Berikut rilis lengkapnya:
PRESS RELEASE
Jakarta, 17 Juni 2017
Pembenahan Birokrasi, Kepastian Hukum, & Infrastruktur Kunci Perbaiki Daya Saing Indonesia
Oleh: Farouk Abdullah Alwyni, Chairman, Center for Islamic Studies in Finance, Economics, and Development (CISFED)
Di era globalisasi dan perdagangan bebas, negara-negara di dunia terus berlomba lomba mendongkrak daya saing agar semakin kompetitif dalam berbagai sektor. Bagi sebuah negara, daya saing menjadi salah satu parameter ketahanan dalam menghadapi tantangan pembangunan & kemajuan bangsa lewat kekuatan ekonomi, politik, budaya bahkan kekuatan militer.
Sehubungan dengan hal di atas Indonesia perlu bekerja keras dalam memperbaiki daya saing global, hal ini karena berdasarkan “The 2017 IMD World Competitiveness Yearbook” yang luncurkan pada 1 Juni 2017 lalu oleh “International Institute for Management Development (IMD)”, sebuah sekolah bisnis terkemuka dunia yang berbasis di Swiss, Indonesia menempati posisi terakhir di antara negara-negara ASEAN yang di kaji dalam “Yearbook” tersebut.
Kendati pada tahun ini terjadi peningkatan peringkat daya saing Indonesia ke rangking 42 dari rangking 48 di tahun 2016, tetapi hal tersebut belum mampu mendongkrak Indonesia keluar dari posisi buncit di antara negara-negara ASEAN yang masuk dalam rangking tersebut. Bahkan peringkat kita sekarang (2017) masih di bawah peringkat kita di tahun 2014 (ranking 37) dan 2013 (39).
Di antara negara-negara kawasan ASEAN, Singapura menduduki peringkat tertinggi yaitu berada pada posisi ke-3, disusul Malaysia (24), Thailand (27), serta Filipina di posisi ke 41 tepat di atas Indonesia (42). Posisi negara-negara di kawasan Asia Pasifik lainnya umum-nya juga di atas Indonesia seperti Hong Kong (1), Taiwan (14), New Zealand (16), Tiongkok (18), Australia (21), Jepang (26), dan Korea Selatan (29).
Meski pemerintahan Jokowi-JK terus berupaya melakukan pembenahan di berbagai bidang, nyatanya hasil yang di dapatkan belum cukup untuk mendongkrak rangking kita ke level tertinggi di tahun 2014 (37), apalagi untuk mengejar Malaysia dan Thailand. Dalam beberapa sub-indikator, daya saing Indonesia tertinggal di banding negara-negara tetangga khusus-nya di area efisiensi pemerintahan, efisiensi bisnis, dan infrastruktur.
Dalam hal efisiensi pemerintahan, persoalan utama Indonesia adalah kerangka institusional, hukum bisnis, dan kerangka sosial. Kerangka institusional yang perlu perbaikan serius adalah penciptaan kerangka regulasi dan birokrasi yang kondusif terhadap bisnis (tidak ribet dan ‘complicated’), pemerintahan bersih dan bebas korupsi, dan kepastian hukum. Di samping itu kecenderungan di mana terjadi pelemahan KPK di satu sisi dan politisasi KPK di sisi lain semuanya mengirimkan tanda-tanda yang negatif bagi perbaikan daya saing Indonesia di level internasional.
Hendaknya para pemegang keputusan tidak bisa menganggap remeh kasus seperti kriminalisasi Novel Baswedan ataupun terbentuknya Pansus KPK yang telah di sorot media internasional sebagai satu persoalan korupsi yang serius di Indonesia. Untuk memperbaiki daya saing secara signifikan di pemerintahan dalam jangka menengah dan panjang, Indonesia mutlak memerlukan kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman yang bersih, efisien, dan professional yang dapat menegakkan kepastian hukum bagi masyarakat.
Di area efisiensi bisnis, ada kebutuhan untuk pembukaan akses keuangan yang lebih merata kepada bisnis baik dari perbankan, lembaga keuangan non-bank, ataupun pasar modal. Di sisi lain bisnis juga sudah harus mulai sadar terhadap konsep Good Corporate Governance, etika, integritas, maupun tanggung jawab sosial. Komitmen untuk memenuhi atau bahkan melebihi kepuasan konsumen (go beyond customer satisfaction) merupakan prasyarat mutlak bagi penguatan daya saing bisnis masa depan.
Efisiensi sektor pemerintahan dan bisnis di Indonesia seperti dua sisi mata uang, keduanya perlu di benahi agar arus penanaman modal dalam negeri maupun luar negeri dapat menjadi semakin besar, sehingga dapat membuka lebih banyak lapangan pekerjaan, yang pada akhirnya dapat memacu pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dan hasilnya bisa dinikmati oleh semua lapisan masyarakat. Tantangan Indonesia adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang inklusif (menunjang pemerataan ekonomi).
Sumber-sumber daya ekonomi tidak boleh dinikmati oleh sekelompok orang saja. Pemerintah harus memberikan kemudahan dalam berinvestasi dan tidak membuat regulasi yang membelenggu dunia usaha.
Sub-indikator penting terakhir yang perlu di benahi adalah infrastruktur. Indonesia mempunyai kebutuhan yang kritis terhadap pembangunan infrastruktur, di sub-indikator infrastruktur Indonesia masuk di jajaran terbawah, di peringkat ke 59 dari 63 negara.
Memang, di satu sisi pemerintah terus menggenjot proyek infrastruktur untuk mengejar pemerataan pembangunan dan mengatasi ketimpangan pendapatan. Hanya saja, pemerintah masih terbelit ketersediaan dana untuk program infrastruktur tersebut dan prioritas pembangunan infrastruktur yang belum jelas. Persoalan ini membuat peringkat daya saing Indonesia di sektor infrastruktur belum mampu mengimbangi Malaysia yang berada di peringkat kedua setelah Singapura di negara negara ASEAN. Indonesia di peringkat lima, kalah dari Thailand dan Filipina.
Peringkat komponen infrastruktur meliputi: infrastruktur dasar (di antaranya transportasi darat, laut, dan udara), infrastruktur teknologi (di antaranya konektivitas dan kapasitas internet, penggunaan computer, dan ketersediaan dana untuk pengembangan teknologi), infrastruktur sains (di antaranya pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan, jumlah peneliti dan penelitian, transfer ilmu antara universitas dan perusahaan), infrastruktur kesehatan & lingkungan (di antaranya pengeluaran untuk kesehatan publik, infrastruktur kesehatan yang memenuhi kebutuhan masyarakat, dan pencegahan polusi) serta infrastruktur pendidikan (di anataranya pengeluaran publik untuk pendidikan, rasio guru dan murid di sekolah primer dan sekunder, capaian sekolah pendidikan tinggi, pendidikan universitas yang memenuhi kebutuhan masyarakat dan bisnis).
Akhirnya untuk menjadi negara yang lebih maju dan punya daya saing di level internasional, Indonesia perlu menciptakan lingkungan ramah bisnis, mulai dari birokrasi yang bersih dan melayani, kepastian hukum, dan infrastruktur yang memadai. Belum kompetitif-nya iklim investasi di tanah air juga tidak terlepas dari aspek penegakkan hukum dan birokrasi pemerintahan yang tidak efisien bahkan cenderung korup.
Sehubungan dengan hal di atas pemerintah perlu meminimalisasi segenap faktor penghambat daya saing, salah satunya dengan melakukan penyederhanaan birokrasi yang sudah menjadi agenda dalam paket kebijakan ekonomi. Birokrasi yang simple, dan “friendly” kepada segenap pelaku bisnis dan bebas korupsi harus diwujudkan agar daya saing Indonesia terangkat. Isu-isu tersebut pada dasarnya bukan isu baru, tetapi selama Indonesia tidak bisa mengatasinya secara tuntas, maka selama itu pula kita tidak akan bisa masuk ke jajaran negara-negara maju.
Farouk Abdullah Alwyni
Chairman, Center for Islamic Studies in Finance, Economics, and Development (CISFED)
***********