+6221–3503142 secretariat@cisfed.org

Rakyat Indonesia baru saja merayakan kemerdekaan negara ke-69 dengan penuh gegap gempita. Ekspresi kemerdekaan ini mewujud pada pesta rakyat yang setiap tahun tidak berubah. Tentunya sebuah pesta yang disesuaikan dengan kemampuan mereka. Rakyat dari kelas berkecukupan tentunya merayakan kemerdekaan RI di tempat mewah, menyelam di dasar laut atau mendaki gunung hanya sekedar mengibarkan Sang Merah Putih. Sementara rakyat dari kelas kebanyakan cukup mengekspresikan kemerdekaan melalui perlombaan, pawai keliling kampung atau menggelar konser di lapangan luas.

Euforia kemerdekaan ini kemudian sirna ketika tanggal berubah menjadi 18 Agustus. Semuanya kembali kepada kesibukan harian. Satu per satu Sang Merah Putih diturunkan dari pagar rumah, karena dianggap HUT Kemerdekaan RI telah usai. Setidaknya itulah fakta yang terjadi di masyarakat kita memaknai arti kemerdekaan. Hanya sebatas formalitas perayaan tahunan yang jatuh pada 17 Agustus.

Sebagian kalangan yang kritis kemudian mencoba menawarkan gagasan atas definisi ulang makna merdeka. Mereka tuangkan ide dan pemikiran dalam bentuk tulisan yang menyebar di blog, sosial media atau bahkan media massa mainstream. Sebagian dibaca oleh rakyat sebagai bacaan yang menghibur, sebagian lagi dibaca oleh para stake holder di negara ini, entah sebagai apa. Seiring berjalannya waktu, tulisan itu kemudian dilupakan karena begitu derasnya arus informasi dalam kehidupan kita sebagai bangsa dan negara.

Warna-warni kehidupan rakyat Indonesia begitu rupawan. Beraneka pemikiran melintas di tengah kehidupan yang serba terbuka dan bebas. Apa yang bisa dirahasiakan dalam kehidupan bernegara kita pada saat ini? Toh semua akan tersibak dengan sendirinya, seiring dengan era keterbukaan informasi yang beragam.
Tulisan ini merupakan kontemplasi atas kehidupan rakyat Indonesia yang sudah mengenyam kemerdekaan selama 69 tahun. Ketika pajak rakyat harus dibayar untuk menghidupi perbankan raksasa yang sebenarnya sudah meraup keuntungan besar. Ketika orang miskin harus membiayai orang kaya. Bisa dibilang mungkin ini tulisan dari segelintir orang yang kritis atas realita kehidupan kita.

Kita tentu masih ingat bagaimana kebijakan Presiden Megawati Soekarnoputri menyetujui pelepasan Bank BCA sebesar 51% kepada Farralon Investment dan Farindo Investment, Ltd., yang berbasis di Mauritius pada 2002. Kebijakan tersebut tentunya sulit dikorelasikan dengan makna hakikat kemerdekaan. Mengapa? Hal tersebut disebabkan hingga saat ini BCA masih menerima kucuran dana APBN sebagai bunga obligasi rekap, yang notabene berasal dari pajak rakyat, sebesarRp 6 triliun pertahun atau Rp 60 triliun dalam satu dekade terakhir. Pertanyaannya kemudian pantaskah Bank BCA yang pada 2013 mencatat laba bersih Rp14,3 triliun mendapat “privilege” seperti itu?

Bank BCA hanya salah satu contoh. Total dana obligasi rekap yang disetujui oleh Presiden Megawati terhadap sejumlah bank rekap bermasalah saat itu sekitar Rp600 triliun, atau berbunga Rp60 triliun per tahun dari APBN. Kebijakan ini tak tergoyahkan karena dikukuhkan dengan UU No. 25 TH 2000 tentang Propenas dan TAP MPR No. VIII/MPR/2000. Total bunga obligasi rekap yang harus dibayarkan APBN setiap tahunnya mencapai Rp60 triliun.
Tulisan ini tentu bukan untuk menyerang institusi atau individu. Mari kita baca informasi lain demi keberimbangan. Kita beruntung Capres terpilih Jokowi, yang berasal dari PDIP, memiliki komitmen untuk mengurangi beban APBN dengan cara memangkas politik anggaran. Komitmen tersebut disampaikan politisi PDIP Hasto Kristianto dalam satu kesempatan di Jakarta beberapa waktu lalu. Sudah tentu kita harus menyambut dan mengapresiasi langkah Jokowi itu karena setidaknya ada langkah maju untuk merombak anggaran negara demi kepentingan rakyat.

Ada pos-pos anggaran yang setidaknya menjadi sorotan Jokowi. Perjalanan dinas PNS, pelatihan dan IT dianggap menjadi sumber pemborosan anggaran karena nilainya dianggap besar secara agregat. Kita anggap ini sebagai upaya Jokowi menciptakan kemerdekaan ekonomi demi kepentingan rakyat dan bangsa Indonesia. Tapi cukupkah sampai di situ?

Seringkali dalam kajian ekonomi, masyarakat disuguhi “kegiatan ekonomi memiliki tujuan pemerataan dan distribusi kekayaan”. Itu merupakan doktrin dasar bagi mereka yang mendalami ilmu ekonomi di perguruan tinggi. Tapi tentunya ekonomi tidak bisa berdiri sendiri. Dia memiliki pertalian dengan cabang ilmu lain, politik misalnya.
Dengan demikian, ekonomi politik sebagai suatu sistem mengandung arti adanya tatanan yang dibangun di atas asas yang khas dengan unit-unit yang saling terhubung dan terpadu sebagai suatu cara untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Karena itu, identifikasi perbedaan terhadap suatu ekonomi politik dapat dikenali dari sistem yang dibangun, mulai dari cara dan mekanismenya maupun asas dan tujuannya.

Terkait dengan tema tulisan ini, sudah tentu penyelenggaran ekonomi politik di negara kita harus ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat secara umum. Bagaimana rakyat kita merasakan tujuan dari para pendahulu kita yang telah berjuang meraih kemerdekaan, yaitu meraih keadilan dan distribusi kekayaan secara merata. (*)