Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI baru saja usai. Telah terpilih gubernur dan wakil gubernur baru pilihan rakyat DKI. Mereka adalah Anies Baswedan dan Sandiaga Uno.
Pada awalnya ekspektasi kemenangan pada pasangan Anies – Sandi tidaklah tinggi dibandingkan dengan pasangan petahana, Basuki -Djarot atau pun Agus – Silvi. Hal itu terbukti pada survey-survey awal yang dilakukan oleh beragam lembaga survey. Namun dinamika umat Islam di DKI berkata lain. Sebahagian besar Umat Islam dengan aktif dan gencar berjuang agar petahana dapat dikalahkan.
Salah satu aktivitas monumental yang dipandang memiliki dampak politis yang tinggi yaitu peristiwa Aksi Bela Islam 212. Walaupun aksi ini tidak terkait dengan Pilkada, dan lebih kepada penegakan hukum, aksi ini mengubah secara dramatis psikologi publik terhadap kemampuan umat Islam mendesakkan tuntutannya. Dengan demikian, harus diakui umat Islam memiliki andil besar mengubah konstelasi politik hingga terpilihnya gubernur dan wakil gubernur terpilih hari ini.
Terpilihnya Anies – Sandi sebagai gubernur dan wakil gubernur DKI membawa persepsi baru tentang kekuatan money politic yang tak terkalahkan. Ternyata, money politic tetap dapat dikalahkan dengan militansi dan kekompakan.
Kekompakan dan militansi yang dimotori sebahagian besar umat Islam inilah yang memukul mundur gerakan sembako secara sistematis dan terorganisir oleh calon lain.
Tentu andil umat Islam ini diakui secara tulus oleh gubernur dan wakil gubernur terpilih. Hal itu terlihat pada sikap dan perlakuan Anies – Sandi yang baik terhadap tokoh-tokoh ulama dan habaib. Namun bukan hanya itu yang ditunggu untuk diberikan oleh Anies – Sandi kepada pemilihnya setelah kemenangan mereka yang historis ini.
Bila nanti setelah resmi menjabat sebagai gubernur dan wakil gubernur DKI, yang di tunggu dari internal pemilihnya adalah apakah Anies – Sandi berhasil memenuhi harapan pemilih, dan yang di tunggu dari eksternal mantan bukan pemilihnya atau bahkan hatersnya, adalah apakah mereka berdua bisa melampaui prestasi Ahok. Jika tidak berhasil, maka haters tersebut memiliki bahan untuk menyudutkan umat Islam dan Anies – Sandi sendiri.
Karena itu, beberapa tantangan esensial DKI, haruslah menjadi prioritas pencapaian oleh Anies – Sandi. Apa yang dicapai di masa Gubernur Basuki Tjahaja Purnama, jika positif, tidak ada alasan untuk tidak dilanjutkan dan dikembangkan. Namun agar terasa bedanya dengan pencapaian gubernur sebelumnya, kebijakan Anies – Sandi harus bernilai perubahan yang menyejahterakan bagi warga DKI. Bukan kebijakan yang bernilai perubahan yang menyengsarakan.
Kebijakan yang bernilai perubahan tersebut harus dapat diukur dengan meningkatnya taraf hidup kelas bawah dan kelas menengah di Jakarta. Sebab sebenarnya, kedua kelas inilah yang menjadi penyokong penuh terpilihnya Anies – Sandi. Wujud balas budi kepada kedua kelas ini yaitu menghadiahkan kebijakan yang kondusif bagi mereka untuk naik level secara kesejahteraan, tanpa harus juga memusuhi kelas atas.
Mengingat Jakarta tersusun atas masyarakat majemuk dan urban, beberapa aspirasi khas masyarakat urban dapat diketengahkan di sini. Semua warga tentu menginginkan Jakarta menjelma menjadi one of world class cities. Kendati untuk menggapai kota dengan standard dunia, masih jauh, namun bukan tidak mustahil.
Beberapa catatan di bawah ini merupakan prasyarat yang penting untuk mencapai Jakarta sebagai kota yang nyaman dan dapat bersaing dengan kota-kota yang sudah lebih dahulu maju. Tentu saja peranan seorang gubernur dan wakil gubernur yang memimpin suatu kota sangat menentukan. Karena itu, catatan-catatan di bawah ini penting kiranya diperhatikan.
Pertama, sampai sejauh ini, Jakarta masih memikul suatu birokrasi yang jauh dari efisien, walaupun tren ke arah debirokratisasi mulai tampak sejak periode Jokowi-Ahok berjalan. Jakarta masih perlu lebih maju dalam hal menciptakan birokrasi yang bersih dan melayani. Sikap tegas seorang gubernur untuk memastikan debirokratisasi yang menghapus budaya birokrasi feodal dan berganti dengan budaya ringkas dan melayani, penting sekali untuk diteruskan.
Kedua, yaitu pembangunan infrastruktur. Infrastruktur yang paling disorot yaitu ketersediaan ruas jalan. Ruas jalan yang tersedia masih jauh dari layak. Beberapa solusi yang dapat dipilih misalnya pelebaran jalan atau pembangunan jalan alternatif, seperti jalan layang ataupun deep tunnel. Kebutuhan publik tersebut, tidak bisa dihindari. Memang makin lebar dan banyak ruas jalan, bisa merangsang meningkatnya jumlah kendaraan hingga kemudian menimbulkan kemacetan. Tetapi tanpa itu, justru kemacetan makin parah. Bayangkan pertumbuhan jumlah kendaraan tidak diimbangi dengan peningkatan ruas jalan.
Selain pelebaran dan pertambahan ruas jalan, juga pembangunan koneksi internet yang menjangkau secara luas. E-government harus dimajukan dan dikembangkan lebih baik lagi. Layanan-layanan online dapat digalakkan ke berbagai bidang untuk mengurangi kemacetan akibat interaksi langsung dengan pegawai pemerintah. Hal ini juga membantu mengurangi risiko praktik korupsi.
Ketiga, yaitu transportasi publik harus interkoneksi. Pembangunan transportasi publik yang sudah berjalan, harus ada terobosan-terobosan yang lebih maju sehingga lebih cepat, nyaman dan interkoneksi. Pembangunan MRT dan perbaikan manajemen busway, perlu ditangani dengan baik.
Keempat, kebijakan social security atau dalam bentuk tunjangan sosial. Kebijakan ini harus dijalankan dengan rapi dan terukur untuk menolong warga yang tak beruntung. Karena pada dasarnya kebijakan seperti ini juga di jalankan di banyak negara maju, bahkan yang di anggap negara paling kapitalis seperti Amerika Serikat.
Kelima, menyangkut pengelolaan pajak. Pada 2014 yang lalu, demi meningkatkan pendapatan daerah, Pemda DKI menaikkan besaran PBB secara fantastis dan irasional di Jakarta, yang akibatnya memberatkan warga (bisa sampai 500% dari nilai yang harus di bayarkan di daerah-daerah sekitar Jakarta Pusat). Kenaikan yang dipandang tidak rasional tersebut, harus dievaluasi dan dikoreksi karena memukul daya beli masyarakat. Kalau kita melakukan sedikit riset terkait hal ini, tidak ada di manapun kenaikan PBB seperti yang terjadi di Jakarta pada tahun 2014. Kebijakan PBB harus benar-benar mempertimbangkan keadilan dan kepentingan semua pihak.
Keenam, mengingat gubernur dan wakil gubernur terpilih ini memikul mandat dan amanah agar sifatnya berbeda dengan gubernur sebelumnya, maka penting sekali agar gubernur dan wakil gubernur terpilih menjaga hubungan yang harmonis, terbuka dan baik dengan warga. Untuk itu, gubernur dan wakil gubernur terpilih harus memastikan diri tetap accessible atau dapat secara mudah diakses oleh warganya (baik secara langsung, SMS, maupun email). Paling tidak ini hal yang baik yang dicontohkan oleh dua gubernur sebelumnya (Jokowi dan Ahok).
Hal lain yang dapat di lakukan dalam menunjang aksesibilitas di atas adalah, sebulan sekali misalnya secara teratur, gubernur dan wakil gubernur terpilih menyelenggarakan Temu Warga. Tujuannya ialah agar setiap warga dapat secara langsung menyampaikan keluhan dan masukannya bagi gubernur dan wakil gubernur. Di samping itu, gubernur dan wakil gubernur memanfaatkan kesempatan tersebut untuk menyampaikan kemajuan-kemajuan (progress report) yang dicapai oleh kebijakan-kebijakan mereka. Dengan demikian, pemerintahan berjalan secara partisipatif dan menyenangkan sekaligus memberi nilai distinctive dari periode sebelumnya.
Semua saran di atas semata-mata dengan maksud untuk memastikan DKI yang nyaman, bersih, religius dan maju. Seperti semboyan pasangan tersebut sebelumnya yakni, bahagia warganya, maju kotanya.
Farouk Abdullah Alwyni Chairman CISFED
Tulisan di atas telah dimuat pada telegram.co.id pada tanggal 21 Mei 2017 dengan link https://www.telegram.co.id/published/2017/05/21/menanti-perubahan-jakarta/