Tidak bisa dimungkiri jika Malaysia mengalami kemajuan yang pesat dalam pengembangan Lembaga Keuangan Syariah (LKS). Dalam pertemuan sejumlah ekonom syariah dan CEO internasional di Kuala Lumpur, pertengahan Agustus silam, menunjukkan antuasiasme dan gairah para praktisi ekonomi Islam untuk mengembangkan diri. Di negeri jiran, Pemerintah setempat memang membuka pintu seluas-luasnya bagi pengembangan LKS.
Praktisi ekonomi syariah Farouk Abdullah Alwyni, mengungkapkan selain dukungan Pemerintah Malaysia, LKS di negara itu melakukan banyak inovasi. Farouk melihat sendiri secara langsung bagaimana pesatnya perkembangan LKS di negara tersebut. Tidak mengherankan jika kemudian Malaysia mengalami kemajuan dalam perekonomian syariah.
Negara itu pun kemudian mendapat kehormatan menjadi tuan rumah “The 5th Asia Islamic Banking Conference 2014”. Konferensi bergengsi itu dihadiri sejumlah CEO internasional dari berbagai negara untuk mencari solusi bagaimana mengembangkan LKS di level regional.
Dari konferensi tersebut, ada beberapa faktor yang bisa dijadikan patokan pengembangan LKS. Pertama, eksistensi LembagaKeuanganSyariah terkait erat dengan inovasi produk yang ditawarkan. Jika dibandingkan di dalam negeri, perkembangan LKS tidak begitu menggembirakan. Setidaknya dari beberapa aspek bisa diurai apa yang menyebabkan LKS di Indonesia tidak berkembang signifikan. Salah satunya adalah perbankan syariah di Indonesia dianggap belum kreatif dalam pengembangan bisnis.
Kedua, untuk mendukung perkembangan keuangan syariah, dibutuhkan reformasi regulasi dan aturan yang intinya menciptakan iklim kondusif bagi pengembangan keuangan syariah.
Selain regulasi, Pemerintah pun diminta memberikan sejumlah insentif yang nantinya mampu menciptakan suasana mendukung bagi perkembangan LKS seperti hal-nya yang telah dilakukan Malaysia. Dengan adanya insentif, maka perbankan syariah Indonesia akan mampu bersaing dengan perbankan konvensional.
Penulis beranggapan secara global, masa depan LKS di Indonesia memiliki prospek yang sangat bagus. Hanya saja, dalam lingkung nasional, “share” lembaga keuangan syariah masih perlu ditingkatkan lebih jauh. Apalagi saat ini, di beberapa tempat di Indonesia, ada saja wacana penolakan terhadap kehadiran lembaga keuangan syariah yang disebabkan sentimen anti Islam.
Ini tentunya menjadi tantangan bagi para praktisi ekonomi syariah dan Pemerintah, bagaimana citra LKS bisa lebih baik dan diterima oleh semua kalangan. Faktor ketiga, perbankan syariah tidak boleh menjadi “carbon copy” perbankan konvensional.
Perbankan syariah memiliki aturan main yang berbeda dengan perbankan konvensional. Pengembangan bisnisnya harus mampu mengoptimalkan bisnis berbasis pada equity. Lembaga keuangan syariah harus mampu membuktikan Islam Rahmatan lil Alamin melalui sektor perekonomian.
Dengan menerapkan ketiga faktor di atas, perbankan syariah hadir dengan institusionalisasi etika yang berjalan di atas prinsip-prinsip dalam sistem tata kelola yang baik. Dengan demikian akan berdampak pada capaian-capaian obyektif ekonomi Islam yang lebih adil, beretika dan humanis.
Mohamad Fadhilah Zein MEI