+6221–3503142 secretariat@cisfed.org

KEUANGAN Islam telah berkembang pesat di berbagai belahan dunia, mulai dari kawasan Teluk di Timur Tengah, Asia Tenggara, Eropa, hingga Australia. Semakin banyak lembaga keuangan syariah, bank dan nonbank telah didirikan, dan bersamaan dengan tren ini lembaga-lembaga keuangan utama dari Barat juga telah mendirikan “Shariah Windows‘-nya sendiri.

Apakah keuangan syariah benar-benar telah berkontribusi menciptakan sistem keuangan yang lebih etis, pembangunan yang berkelanjutan, dan ekonomi yang lebih adil? Beberapa peneliti keuangan syariah sudah menunjukkan “skeptisisme‘ bahwa keuangan syariah dalam bentuk perbankan syariah telah menjadi carbon copy perbankan konvensional: sebagian besar model pembiayaannya hanya-pembiayaan utang dalam bentuk murabaha dan ijarah.

Sebagai model keuangan yang baru, tentu sulit bagi keuangan syariah untuk membedakan dirinya secara menyeluruh terhadap keuangan konvensional. Namun perdebatan yang sebenarnya adalah tantangan dalam menyatukan bentuk dan substansi dari keuangan syariah. Tanpa substansi, keuangan syariah hanya sekadar menjadi salah satu bentuk model keuangan lain, yang dapat kehilangan semangat keadilan, etika, dan kepedulian.

Di sisi lain perlu juga diingat bahwa keuangan syariah yang direpresentasikan oleh lembaga-lembaga keuangan syariah akhirnya tetap merupakan entitas yang berorientasi profit alias menghasilkan laba. Karena lembaga-lembaga keuangan syariah, seperti hal-nya lembaga-lembaga keuangan konvensional, juga memiliki pemegang saham dan deposan yang mengharapkan keuntungan (laba) dari lembaga keuangan syariah yang mengelola dana mereka.

Dalam hal ini, tentu kita tidak dapat mempertentangkan misi sosial dan moral dari keuangan syariah dengan lembaga keuangan syariah yang berorientasi profit. Tanpa menghasilkan profit, lembaga-lembaga keuangan syariah tidak akan dapat menjaga keberlangsungannya. Karena itu, untuk memastikan keberlangsungannya, lembaga keuangan syariah harus juga menghasilkan laba bagi pemegang saham dan deposannya.

Lalu bagaimana lembaga-lembaga keuangan syariah membedakan dirinya dari lembaga-lembaga keuangan konvensional? Dalam hal ini, tantangannya adalah bagaimana lembaga keuangan syariah dapat memosisikan dirinya sebagai sebuah lembaga yang berbasis nilai yang memiliki tujuan lebih besar daripada sekadar mencari laba, yang bisa mengatakan bahwa laba tentu penting, tetapi bukan segala-nya.

Sebenarnya dalam keadaan seperti sekarang ini, ada kemungkinan “konvergensi‘ visi dan “spirit‘ antara lembaga keuangan konvensional yang modern dengan lembaga keuangan syariah. Akhir-akhir ini kita melihat banyak lembaga keuangan internasional yang sedang berusaha mempertemukan motif laba dengan tanggung jawab sosial. Kita melihat beberapa iklan lembaga keuangan utama yang berusaha menyatukan hati nurani dengan laba, untuk mengatakan bahwa tidak semua yang penting di dunia ini dapat dihitung.

Jadi sebenarnya lembaga keuangan Syariah tidak perlu melakukan apa yang di-sebut “re-inventing the wheel‘ untuk tetap konsisten pada landasan utama pendiriannya, yaitu untuk selalu mengikuti prinsip-prinsip maqasid syariah (tujuan syariah) dan mengimplementasikannya dalam keseharian kehidupan masyarakat. Dengan tetap konsisten menjaga semangatnya, lembaga keuangan syariah pada dasarnya akan menjadi lembaga keuangan masa depan. Lembaga keuangan syariah akan menjadi perwujudan dari konsep pembangunan yang berkelanjutan, ekonomi yang lebih manusiawi, dan perusahaan-perusahaan masa depan.

Lembaga keuangan syariah akan memperlakukan laba yang didapat hanya sebagai “akibat‘, bukan “tujuan akhir‘, karena tujuan akhirnya sebenarnya adalah untuk membawa maslahah (kebaikan) bagi masyarakat, memberi nilai tambah, berkontribusi menciptakan sustainable world dan peradaban manusia yang lebih baik. Pendeknya, lembaga keuangan Syariah harus bercita-cita memiliki tujuan yang lebih besar, dan membiarkan keuntungan datang sendirinya.

Namun di dunia yang didominasi oleh pemikiran jangka pendek, tidak mudah mewujudkan aspiriasi di atas. Dibutuhkan pemegang saham dan manajemen puncak yang “tercerahkan‘ untuk menganut konsep-konsep itu. Mereka adalah orang-orang yang perlu memahami bahwa mendirikan lembaga keuangan syariah membutuhkan komitmen yang melampaui laba.

Konsep ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Dalam dua buku luar biasa berdasarkan riset yang ditulis oleh Jim Collins, Good to Great dan Built to Last (together with Jerry I. Poras), ditunjukkan bahwa banyak perusahaan bertahan lama (enduring companies) di Amerika Serikat menjadikan laba bukan sebagai tujuan utama, melainkan hanya hasil. Dalam Good to Great, dibahas mengenai “prinsip-prinsip yang abadi tentang proses dari good ke great, mengenai bagaimana mengubah sebuah organisasi yang baik menjadi sebuah entitas yang menciptakan hasil yang hebat secara berkelanjutan‘.

Berdasarkan riset yang dilakukannya selama lima tahun dengan 21 partner risetnya yang melibatkan analisis kuantitatif dan kualitatif yang luas cakupannya dan meneliti 1,435 perusahaan Fortune 500 ditambah wawancara dengan eksekutif utamanya, Collin menulis: “Perusahaan-perusahaan hebat yang bertahan lama tidak hadir semata-mata untuk memberikan keuntungan kepada para pemegang saham. Tentu, dalam sebuah perusahaan yang benar-benar hebat, laba dan arus kas menjadi seperti darah dan air bagi tubuh yang sehat: mereka benar-benar penting bagi kehidupan, tetapi mereka bukan titik utama kehidupan.”

Para peneliti di atas telah menunjukkan bahwa berorientasi pada “tujuan yang lebih besar‘ merupakan salah satu karakteristik umum yang dimiliki kebanyakan perusahaan internasional utama. Karenanya, jika lembaga-lembaga keuangan syariah menganut tujuan yang lebih besar daripada laba, maka ia sebenarnya mirip perusahaan-perusahaan hebat itu.

Dengan demikian, lembaga-lembaga keuangan syariah dapat memosisikan diri tidak hanya sekadar sebagai entitas yang hanya mencari keuntungan, tetapi juga sebagai entitas yang ingin berkontribusi dalam sistem ekonomi yang lebih berkelanjutan, merata, dan peduli. Sebuah system yang akan menciptakan virtuous cycle, dan memperkuat kemaslahatan bagi sesama.

Sumber : https://www.islampos.com/keuangan-syariah-dan-masa-depan-peradaban-185299/