Di bawah ini adalah berbagai liputan media online atas pernyataan pers Farouk Abdullah Alwyni selaku Chairman CISFED, terkait ‘Kenaikan Pungutan PBB Hancurkan Kelas Menengah.’ Pernyataan pers lengkap berada di bawah. Semoga bermanfaat.
http://mysharing.co/kenaikan-
http://m.bisnis.com/jakarta/
https://m.merdeka.com/
http://www.tribunnews.com/
http://www.parahyangan-post.
PRESS RELEASE
Jakarta, 25 Mei 2018
Kenaikan Pungutan PBB Hancurkan Kelas Menengah
Saat ini, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tengah mengkaji kenaikan pungutan pajak seperti pajak air tanah, pajak parkir gedung, dan, yang telah dinaikkan pajak bumi dan bangunan (PBB). Rencana kenaikan pajak tersebut tidak terlepas dari target Pemerintah Provinsi (Pemprov) Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta yang ingin mengerek pendapatan pajak dari Rp 36,125 triliun menjadi Rp 38,125 triliun pada tahun ini. Sehubungan dengan hal di atas, kenaikan pungutan PBB 2018 perlu di kaji ulang, Pemprov DKI diminta cermat mempertimbangkan dampak jangka menengah dan panjangnya terhadap masyarakat. Alasannya, sejak tahun 2014, Jakarta telah mengalami kenaikan tarif PBB yang fantastis, bisa mencapai lebih dari 500% (yang kemudian banyak di di ikuti di daerah-daerah yang lain). Pada waktu itu Pemprov DKI Jakarta beralasan kenaikan itu -PBB 2014- dilakukan karena sebelumnya tidak pernah ada kenaikan PBB. Tapi alasan ini tidak akurat jika mereview pergerakan kenaikan PBB di tahun-tahun sebelumnya.
Persoalannya sekarang, setelah meningkat sedikit di tahun 2015, 2016, dan 2017, Pemrov DKI Jakarta baru-baru ini kembali meningkatkan tarif dengan nilai yang lumayan, antara 10%-15%. Kenaikan ini sebenarnya berdampak negatif terhadap daya beli masyarakat Jakarta karena alokasi dana yang perlu dikeluarkan meningkat sedemikian rupa. Pihak yang paling dirugikan dalam hal ini adalah kelas menengah. Tak ayal, ketika orang semakin tua, penghasilannya semakin turun, PBB malah semakin mahal dan mencekik. Di sini negara bukannya membawa maslahat bagi masyarakat malah membawa mudharat. Persoalannya adalah PBB ini tidak hanya membebani masyarakat Jakarta tetapi juga berbagai kota di Indonesia umum-nya. Seharusnya sebelum menaikkan kembali PBB di tahun 2018 ini, Gubernur DKI Jakarta yang baru perlu mereview kembali kebijakan kenaikan PBB yang sangat tidak logis di tahun 2014.
Di satu sisi pencabutan pemberian potongan atau diskon PBB sebesar 50% untuk lapangan golf adalah hal yang patut di apresiasi karena diskon besar untuk lapangan golf adalah sangat tidak proporsional mengingat pihak yang menikmati permainan golf adalah orang-orang yang sangat mampu, sedangkan di sisi lain sangat sulit bagi anggota masyarakat biasa untuk mendapatkan potongan PBB sebesar 50%.
Tetapi di sisi lain Gubernur DKI yang baru bukannya mengkoreksi kesalahan kenaikan PBB yang bombastis di tahun 2014 malahan justru menaikkan kembali PBB di tahun 2018 ini. Pada esensinya kelas menengah perkotaan adalah korban utama dari PBB yang terus meningkat. Pungutan PBB yang semakin tinggi membebankan para pemilik rumah di dalam kota (khususnya daerah Jakarta Pusat). Belum lagi Badan Pajak dan Retribusi Daerah (BPRD) DKI Jakarta memberikan stigma yang tidak etis, yakni dengan dengan menempelkan tanda besar di depan rumah warga yang tidak bisa membayarkan PBB-nya.
Pertimbangan peningkatan pajak karena suatu daerah adalah daerah komersial merupakan sebuah generalisasi yang tidak proporsional, karena lepas dari daerah Thamrin dan Sudirman, peningkatan PBB berdampak ke wilayah sekitarnya. Padahal, daerah sekitar Thamrin dan Sudirman itu rumah dan bangunan komersial masih bercampur. Perlu di garis bawahi bahwa peningkatan pajak yang drastis di tahun 2014 dan di lanjutkan di tahun 2018 ini bukan saja tidak manusiawi tetapi juga tidak rasional dan bersifat oppressive karena memberikan beban yang sangat berat kepada masyarakat pada umumnya. Hal ini pun janggal jika mempelajari konteks perpajakan internasional bagi masyarakat negara-negara maju. Apalagi kalau di negara maju setiap peningkatan pajak harus di imbangi oleh perbaikan pelayanan publik dan juga infrastruktur yang nyata. Untuk konteks Indonesia sebagai sebuah negara berkembang yang berusaha menjadi negara maju, pembebanan PBB berlebihan juga tidak sesuai dengan semangat reformasi yang ingin melihat kesejahteraan yang lebih baik bagi segenap anggota masyarakat. Kondisi yang ada sekarang esensinya adalah bukannya membangun lebih banyak kelas menengah, tetapi justru dapat menghancurkan kelas menengah yang baru tumbuh. Pemprov. DKI perlu mengambil contoh regulasi perpajakan di Los Angeles, Amerika Serikat, yang mana maksimum peningkatan property tax (baca PBB) adalah tidak boleh lebih dari 2% setiap tahunnya seperti tertuang dalam Article 13A of the California Constitution. Di negara bagian New South Wales & Victoria, Australia, bahkan rumah tinggal utama tidak dikenakan property tax sama sekali. Di Jerman bagian Barat, nilai penetapan property tax adalah di tahun 1964 dan bahkan di bekas Jerman Timur nilai yang digunakan adalah nilai tahun 1935. Pun di Belanda maksimum kenaikan property tax adalah tidak boleh melebihi inflasi setiap tahunnya. Dan perlu pula diketahui bahwa untuk kasus di Los Angeles, pembebanan pajak adalah berdasarkan nilai beli awal dari sebuah property. Reappraisal hanya terjadi diantaranya jika ada jual beli dengan pihak ketiga, dan itupun nilainya harus disetujui oleh tax payer. Jadi pembebanan property tax tidak harus mengikuti perubahan harga properti yang mungkin terjadi dalam beberapa tahun ke depannya setelah pembelian (seperti yang diterapkan pada tahun 2014 dan 2018 di Jakarta). Dengan demikian properti yang dibeli misalnya 20 tahun yang lalu akan tetap menggunakan penilaian harga pada saat properti itu dibeli dan tidak mengikuti harga pasar yang berkembang. Penyesuaian hanya dilakukan jika properti tersebut dijual kepada pihak ketiga dengan harga pasar yang baru. Maka pihak ketiga tersebut selanjutnya akan membayar property tax berdasarkan nilai pembelian baru tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka kami mengusulkan: Pertama, Gubernur DKI perlu mereview kembali peningkatan PBB yang terjadi di tahun 2014 dan 2018, agar pada tahun 2019 dapat dilakukan pengurangan mendasar terhadap pembebanan PBB yang ada sekarang ini, khususnya untuk rumah-rumah tinggal. PBB (dan pajak pada umumnya) yang melonjak tinggi pada dasarnya adalah berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi masyarakat, daya beli domestik, dan investasi pada umumnya. Penetapan PBB tetap perlu mempertimbangkan kapasitas masyarakat secara umum. Sebab peningkatan pungutan PBB yang tidak diikuti oleh peningkatan penghasilan masyarakat akan bersifat counter-productive bagi pembangunan ekonomi secara umum. Perlu ada perubahan mekanisme penetapan PBB dari yang ada sekarang, PBB tidak bisa terus naik tanpa mempertimbangkan kondisi ril pendapatan masyarakat.
Kedua, realisasi peningkatkan NJOP tidak kena pajak menjadi Rp 2 miliar di 2018 ini adalah hal yang positif. Tetapi agar kebijakan yang ada menjadi bermanfaat secara lebih menyeluruh, maka nilai tersebut (Rp. 2 milyar) perlu menjadi pengurang dari nilai-nilai NJOP yang berada di atas-nya. Bukan seperti sekarang di mana nilai NJOP tidak kena pajak tetap di nilai Rp. 15 juta, yang menunjukkan inkonsistensi dengan fakta bahwa NJOP tidak kena pajak sesungguhnya adalah Rp. 2 milyar. Di samping itu perlu juga perubahan penetapan persentasi empat tarif PBB-P2 yang berlaku berdasarkan Perda No. 16/2011, yaitu tarif 0,01% untuk NJOP < Rp 200 juta, tarif 0,1% untuk NJOP Rp 200 juta sampai dengan < Rp 2 miliar, tarif 0,2% untuk NJOP Rp 2 miliar sampai dengan < Rp 10 miliar, dan tarif 0,3% untuk NJOP Rp 10 miliar atau lebih. Mengingat NJOP s/d Rp. 2 milyar sudah tidak di kenakan pajak maka otomatis tariff nilai NJOP > Rp. 2 milyar sampai dengan < Rp. 10 milyar perlu di buat menjadi 0,1%, dan nilai di atasnya dapat di sesuaikan lebih lanjut.
Ketiga, sehubungan dengan point 3 di atas, kebijakan pembebasan pajak kepada rumah tinggal utama perlu di pertimbangkan, khusus nya bagi para senior citizens (yang di Amerika Serikat dikategorikan sebagai anggota masyarakat yang berumur lebih dari 55 tahun) dan/ataupun anggota masyarakat yang tidak berpenghasilan tinggi. Di samping itu kebijakan pengurangan PBB saat ini hendak-nya tidak mempersulit anggota masyarakat dengan berbagai persyaratan, dan juga tidak merestriksi pembebasan PBB bagi anggota masyarakat yang memiliki kos-kosan sekedar sebagai pendapatan tambahan.
Keempat, kemampuan petugas UPPD perlu diperbaiki dalam membaca kondisi ril yang dihadapi setiap anggota masyarakat dan melihat kapasitas riel warga dalam membayar PBB. Kemudian, perlu membuat kebijakan-kebijakan yang lebih friendly dan substantive dalam mengakomodasi permohonan pengurangan pajak setiap warga. Pengurangan PBB yang signifikan (mengingat kenaikan PBB yang signifikan pula di tahuna 2014) bukan hanya dibutuhkan oleh PNS dan/ataupun veteran saja tetapi juga oleh segenap anggota masyarakat lainnya, terlebih lagi oleh para senior citizens. Apalagi sekarang secara umum PNS justru mempunyai tingkat kesejahteraan yang lebih baik ketimbang rata-rata masyarakat.
Terakhir, sudah saatnya Pemerintah Daerah, baik Pemda DKI maupun Pemda lainnya untuk mulai berfikir meningkatkan pendapatan bukan dari pajak. BUMD-BUMD yang ada perlu di optimalkan untuk memberikan pendapatan bagi Pemda. Di samping itu potensi-potensi pendapatan non-pajak lainnya yang perlu terus di bangun di antaranya adalah pengembangan objek-objek wisata, pembangunan sinergi dengan UMKM dalam hal penyediaan lahan berusaha, dan sinergi dengan bisnis-bisnis menengah besar dalam pengembangan infrastruktur. Tidak kalah pentingnya adalah Pemda wajib menciptakan lingkungan bisnis yang kondusif dengan meminimalkan regulasi dan mereformasi birokrasi, hal ini akhirnya akan dapat juga merampingkan birokrasi yang akan berdampak positif untuk memindahkan alokasi anggaran dari sekedar belanja rutin (belanja pegawai & barang) menjadi belanja modal (pembangunan infrastruktur) dan belanja sosial untuk kesejahteraan rakyat dengan peningkatan kualitas kesehatan, pendidikan dan social safety net.
Farouk Abdullah Alwyni
Chairman, Center for Islamic Studies in Finance, Economics, and Development (CISFED)