Chairman CISFED, Farouk Abdullah Alwyni (FAA) dimintai tanggapannya oleh sebuah media online (barisan.co) terkait adanya kecenderungan sikap ambivalen Pemerintah Republik Indonesia terhadap Israel, dimana disatu sisi tetap menolak hubungan diplomatis tetapi disisi lain kenyataannya perdagangan terus terjadi antara dua negara ini. Interview yang dipublikasikan pada tanggal 18 Mei 2021 tersebut dapat diakses melalui link berikut:
https://barisan.co/indonesia-terhadap-israel-tegas-menolak-diplomasi-tapi-mesra-secara-ekonomi/
Dibawah ini adalah Isi dari link tersebut. Semoga bermanfaat.
Indonesia Terhadap Israel: Tegas Menolak Diplomasi, tapi Mesra Secara Ekonomi
:: Ananta Damarjati 18 Mei 2021 dalam Ekonomi
BARISAN.CO – Meski Indonesia tegas menolak hubungan diplomatik dengan Israel, tidak demikian dengan hubungan dagang. Produk-produk made in Israel cukup umum beredar di Indonesia. Begitupun sebaliknya.
Aktivitas ekspor impor kedua negara terjalin cukup intens, dan pada kecenderungannya, menguntungkan dari sisi Indonesia dengan neraca perdagangan yang terus mencatatkan surplus sekurang-kurangnya sejak 2015.
Dalam enam tahun terakhir, Indonesia hanya pernah sekali mengalami defisit neraca perdagangan dengan Israel yakni pada tahun 2016, di mana lebih banyak impor sebesar US$109,94 juta berbanding ekspor sebesar US$103,16 juta.
Selebihnya ekspor Indonesia selalu lebih besar. Dalam konteks pandemi Covid-19 sekalipun, ketika perdagangan dunia banyak menjadi ruwet, Indonesia tetap mencatatkan surplus atas Israel dengan nilai ekspor US$157,52 juta berbanding impor US$56,53 juta pada tahun 2020.
Mengutip data International Trade Center, produk unggulan Indonesia yang banyak diekspor ke Israel pada tahun 2020 termasuk di antaranya adalah kategori mesin dan peralatan listrik serta bahan bakunya, yang nilainya mencapai US$33,77 juta.
Seterusnya disusul produk lemak dan minyak hewani (US$29,08 juta), limbah industri makanan (US$11,21 juta), kakao dan olahan kakao (US$10,50 juta), dan serat stapel buatan (US$9,94 juta).
Jika melihat tren perdagangannya, 10 komoditas yang jadi andalan ekspor Indonesia ke Israel terdiri dari produk bahan baku elektronik, minyak, perkebunan, pakaian, dan furnitur.
Sebaliknya, komoditas impor Indonesia dari Israel paling banyak adalah komoditas manufaktur berteknologi tinggi.
Komoditas impor itu mencakup di antaranya peralatan mekanis, reaktor nuklir, ketel uap dan bahan bakunya sebesar US$42,58 juta, mesin dan peralatan listrik serta bahan bakunya (US$4,9 juta), perkakas alat makan sendok dan garpu (US$3,7 juta), senjata dan amunisi (US$1,33 juta), dan bahan kimia anorganik (US$0,83 juta).
Dari sisi impor ini, ada 40 kategori produk yang dibeli Indonesia dari Israel tahun 2020. Nilai impor tersebut mencapai US$56,53 juta, meningkat 123,2% dari tahun sebelumnya (2019) yang senilai US$25,27 juta.
Memperjelas Pemihakan
Hubungan ekonomi yang menguntungkan antara Indonesia-Israel jelas menjadi fenomena yang penting disimak. Apalagi di satu sisi, secara diplomatik Pemerintah Indonesia sebetulnya teguh menolak untuk mengakui kedaulatan Israel jika tak ada pengakuan kedaulatan Palestina.
Ketua Center For Islamic Studies In Economics and Development (CISFED) Farouk Abdullah Alwyni menilai, pemerintah Indonesia perlu mempertegas sikapnya terhadap Israel. Jangan sampai, kepentingan ekonomi mengaburkan objektif dalam menilai situasi geopolitik yang sedang terjadi.
“Sebenarnya sebagai negara yang berpegang terhadap amanah konstitusi, persoalan untung-rugi ekonomi adalah nomor dua. Di sini adalah bagaimana kita bisa konsisten terhadap konstitusi kita yang menolak segala macam bentuk penjajahan dan penindasan antara satu bangsa kepada bangsa yang lain.” Kata Farouk Alwyni saat Barisanco meminta keterangan, Selasa (18/5/2021).
Menurut Farouk, untuk menguatkan dukungan terhadap Palestina, pemerintah Indonesia perlu bergerak lebih jauh dari sekadar deklarasi. Dalam hal ini, pemerintah dapat mulai memakai instrumen ekonominya untuk memberi ‘hukuman’ terhadap Israel.
Indonesia tidak ada salahnya menyerukan boikot, sanksi, dan divestasi (BDS) terhadap produk-produk Israel. Secara nyata hal ini sudah dilakukan oleh beberapa negara, salah satunya Irlandia, dalam upaya mendukung penuh kemerdekaan Palestina.
Apa yang dilakukan Irlandia, menurut Farouk Alwyni, patut dijadikan contoh. Irlandia secara resmi melarang kongsi perdagangan dengan kawasan yang berstatus di bawah kekuasaan Israel.
Meski ada sekitar 500 ribu hingga 1 juta poundsterling per tahun yang hilang dari kebijakan tersebut, Irlandia tak ambil pusing. “Mereka lebih penting untuk menegaskan diri sebagai negara yang anti terhadap penindasan dibanding urusan ekonomi.”
Farouk melanjutkan, “Banyak instrumen yang bisa digunakan pemerintah Indonesia. Bisa misalnya memberlakukan larangan seluruh entitas hukum di Indonesia berhubungan dengan entitas hukum Israel. Atau, bisa pula meningkatkan tarif impor terhadap Israel, seperti halnya yang dilakukan Amerika terhadap China yang dikenal istilah trade war.”
Farouk yakin pemerintah bisa memiliki ketegasan yang sama. Ia percaya bahwa Indonesia adalah negara yang berpegang kepada nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan.
“Mengapa tidak? Ini justru akan menunjukkan bahwa kita adalah bangsa yang bermartabat, mempunyai pemihakan yang jelas, dan memegang prinsip-prinsip bahwa ada yang lebih besar dari ekonomi. Saya pikir seluruh bangsa besar akan berpegang hal-hal tersebut,” pungkas Farouk.