+6221–3503142 secretariat@cisfed.org

Aksi massa 212 meninggalkan implikasi psikologis baru bagi bangsa Indonesia, khususnya umat Islam. Implikasi itu adalah kepercayaan diri bahwa umat mampu bergerak serentak dan bermartabat tanpa meninggalkan cela dan kerusakan sedikit pun.

Aksi 212 sangat monumental dan menjadi penanda munculnya kekuatan politis baru di luar jalur partai politik. Awalnya adalah keterpanggilan untuk membela atas apa yang dianggap sebagai penistaan agama.

Ditambah pula kekhawatiran tidak berjalannya proses penegakan hukum secara adil dan fair terhadap Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Mengingat, Ahok didukung rezim yang berkuasa. Di samping itu, sejak lama praktik hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas.

Akibatnya umat Islam mengambil cara melalui tekanan massa agar hukum dapat ditegakkan. Adapun yang menarik dicermati, komponen umat yang terlibat aksi massa cukup beragam. Banyak di antaranya golongan kelas menengah atas.

Sebenarnya kelas menengah atas ini tidak terlalu peduli politik, tetapi peduli dengan agamanya. Keterlibatan mereka tampaknya semata-mata atas dorongan keyakinan agama. Mereka memandang, situasi yang ada sudah waktunya meminta mereka berbuat hal  berarti.

Ibaratnya, jika meminjam istilah kelompok ultranasionalis di Amerika dan Eropa, mereka membawa suatu pesan yang kuat: we want to claim our country back. Umat Islam ingin memainkan peran lebih besar bagi negara.

Hal ini bukan berarti umat mengabaikan kelompok agama lain. Aksi 212 menunjukkan, umat Islam mempunyai kekuatan politik riil yang tak bisa dipandang remeh. Masalahnya sekarang, bagaimana mengelola isu yang ada itu ke depan demi kemaslahatan negeri.

Saat kepercayaan diri unsur yang mayoritas ini meningkat, harapannya serentak dapat membawa kebaikan bagi republik ini. Penting mentransformasikannya menjadi kekuatan penyelesai ketimpangan sosial ekonomi, penegakan hukum, dan pemerintah yang bersih.

Ketiga hal itulah masalah substantif dan kolektif bagi negeri ini. Dalam hal ini, pemerintah harus berperan untuk memastikan tiga hal tersebut terwujud. Penanganan hukum atas kasuk Ahok secara adil dapat menjadi pembuktian iktikad penyelenggaraan negara sesuai harapan.

Bagaimanapun kita harus apresiasi, pemerintah cepat memproses kasus tersebut. Apabila nanti putusan hakim menyatakan Ahok bersalah, putusan itu harus dilaksanakan sebagaimana mestinya. Bila berjalan baik, harapan pemerintah demokratis yang kredibel terwujud.

Indonesia sebenarnya memiliki peluang besar menjadi kekuatan baru dunia, asalkan upaya menciptakan pemerintahan/birokrasi yang bersih dan melayani, penegakan hukum,  dan stabilitas dalam negeri dapat ditangani dengan baik.

Salah satu faktor yang terkait stabilitas dalam negeri adalah ketimpangan sosial ekonomi. Faktor ini rentan memicu ketegangan horizontal dan vertikal. Ketegangan horizontal, yaitu antara masyarakat pribumi dan nonpribumi.

Sementara, ketegangan vertikal, yaitu antara pemerintah dan kelompok-kelompok masyarakat yang secara ekonomi tidak diuntungkan. Aksi 212 sebenarnya mengirimkan pesan kuat agar ketimpangan pribumi yang mayoritas Muslim dengan etnik Tionghoa dapat juga diatasi.

Munculnya aksi-aksi bernuansa ekonomi, seperti boikot dan penggalangan modal untuk pembentukan koperasi sarat pesan perlunya penanganan ketimpangan ekonomi secara serius. Harusnya ini direspons pemerintah dengan kebijakan yang memecahkan masalah.

Tidak dapat dimungkiri, rasio porsi antara umat yang mayoritas dan kelompok minoritas jauh dari ideal. Ibaratnya 80:20. Yang 20 persen mempunyai kekayaan 80 persen Indonesia, sedangkan yang 80 persen mempunyai kekayaan 20 persen Indonesia.

Bahkan, dalam kenyataannya, mungkin bisa lebih timpang dari itu. Hal relevan dilakukan dalam kerangka harmoni, yaitu menggalakkan pengusaha etnik Tionghoa dan pribumi sukses memfasilitasi gerakan kewirausahaan.

Dan mereka bersama-sama, membangun kapasitas pribumi sebagai wirausaha yang mampu bersaing. Bukan malah sebaliknya, kaum minoritas yang dominan secara ekonomi mau mendominasi pula secara politik.

Apalagi jika ternyata dalam upaya mendominasi politik mereka terus mendorong sekulerisasi dan mematikan identitas, persatuan, dan kesadaran politik umat Islam. Bagaimanapun, wajah Indonesia di pentas global akan dilihat dari sejauh mana umat Islam memainkan peranan.

Tentu tidak ada satu pun warga Indonesia yang tak bangga jika melihat Indonesia bertransformasi menjadi kekuatan dunia baru. Prospek tersebut semakin terlihat sekarang dengan apa yang dimainkan secara damai oleh umat Islam Indonesia.

Aksi 212 merupakan pembuktian, umat Islam mampu menciptakan persatuan dan pergerakannya. Modal itu cukup memberi harapan bagi bangsa ini untuk merasa optimistis menjadi kekuatan dunia baru.

Tentu hal itu hanya bisa apabila pekerjaan rumah, seperti penegakan hukum yang berjalan baik, pemerintahan yang bersih dan melayani, serta kenyamanan untuk berbisnis dapat dipastikan sedemikian rupa.

Di samping itu, pembangunan karakter, mindset masyarakat yang mempunyai work attitude baik dan menjunjung profesionalisme, serta kepastian pemerintah untuk menjamin kepentingan nasionalnya juga haruslah dibangun sedemikian rupa.

Pemerintah sebagai penggerak utama perubahan haruslah menjaga persatuan, kebebasan, dan keadilan. Pemerintah kendati berasal dari suatu partai politik, ketika sudah berada dalam posisi itu, tidak boleh memihak kepada kepentingan yang bersifat golongan.

Dia harus menjadi pengayom yang lintas golongan. Saat ini sulit dinafikan adanya persepsi bahwa pemerintah masih belum berhasil menjadi milik setiap golongan rakyat.

Seharusnya umat Islam yang bergerak dalam aksi 212 dirangkul pemerintah menjadi driving force bagi stimulus pemecahan ketimpangan ekonomi yang sudah kronis, bukan malah dilihat sebagai ancaman.

Apabila hal itu dapat dilakukan, tentu jalan bagi Indonesia menjadi negara yang kuat dan maju bukanlah impian yang jauh.

Farouk Abdullah Alwyni
Chairman CISFED

(Dimuat pada OPINI, Republika, selasa, 3 Januari 2017)