Dalam perkembangannya, ekonomi politik ternyata tidak saja digunakan dalam konteks ilmu (ekonomi) sebagaimana yang telah diuraikan di atas, tetapi juga dipergunakan sebagai alat analisis terhadap gejala sosial. Ekonomi politik sebagai suatu pendekatan analisis terhadap masyarakat dan bangsa muncul pada tahun 1970-an. Hal ini dilatari oleh reaksi atas ketidakpuasan terhadap teori modernisasi yang dipandang tidak memadai menjelaskan perubahan di dalam masyarakat negara-negara baru.
Sebagaimana diketahui, para ilmuwan sosial dan politik Barat, kerap mempergunakan dan menyodorkan analisis modernisasi untuk mendekati masyarakat-masyarakat di negara-negara yang baru merdeka (dunia ketiga). Tentu saja banyak hal dari teori modernisasi tidak dapat menjelaskan secara utuh masalah-masalah yang dihadapi oleh negara-negara baru tersebut yang baru saja mengalami kolonialisasi dan pada akhirnya mengakibat teori modernisasis kehilangan relevansi dengan kebutuhan perubahan secara mendasar yang diharapkan oleh negara-negara baru tersebut. Kenyataannya teori modernisasi menggiring negara-negara baru tersebut ke dalam ketergantungan orientasi kepada model masyarakat Barat yang sebelumnya merupakan penjajah mereka. Di sinilah munculnya kritik terhadap model modernisasi yang datang dari sarjana-sarjana ekonomi politik.
Salah seorang dari mereka, Peter Gran, sebagaimana dalam tulisannya, Ekonomi Politik Sebagai Paradigma dalam Kajian Sejarah Islam, ia menyatakan secara sederhana, teori modernisasi menyatakan bahwa kebanyakan masyarakat di dunia atau di beberapa wilayah (tertentu), yang disebut negara-negara baru, tidak memiliki dinamika internal yang mampu menghasilkan perubahan berarti. Perubahan penting menuju modern memerlukan “kedatangan Barat”. Modernisasi terjadi melalui antraksi yang menguntungkan antara para anggota kelompok elit setempat yang sedang berkuasa dan berpikiran baru dan Barat.
Teori modernisasi membuat premis yang menyatakan bahwa perubahan historis yang berarti hanya terjadi di negara yang sudah mapan sebagai akibat dari serangkaian kegiatan kelompok kecil yang disebut kelompok elit. Adapun rujukan dari negara-negara mapan tersebut, yaitu Amerika Serikat, Inggris dan Prancis. Seandainya kelompok elit yang kecil tersebut dianggap sebagai kelompok yang menyebabkan timbulnya (modernisasi itu), bagaimanakah kita menjelaskan Revolusi Prancis, Perang Saudara di AS, atau kelahiran Partai Buruh di Inggris? Inilah yang menyebabkan para sarjana ekonomi politik tidak menerima teori modernisasi dan mendudukkannya sebagai teori elit. Karena itu, mereka berpaling kepada kelas sosial sebagai alat analisis historik. Analisis kelas dipandang lebih komplit dalam membedah suatu gejala dan realitas.
Para sarjana ekonomi politik menganggap teori modernisasi membatasi dan menyempitkan sejarah. Sejarah dipandang sebagai kisah elit-elit tertentu saja, dan sudah pasti hal itu tidak tepat. Teori modernisasi tidak berhasil mengungkap berbagai dinamika penting atau menjelaskan perubahan.
Oleh karena itu, kalangan sarjana ekonomi politik menyatakan dengan tegas bahwa teori modernisasi bias kepentingan kolonialisme Barat, secara implisit mengandung tekanan politik: bila untuk menjadi modern, Anda harus mengikuti lagkah Barat dan menirunya, berarti Barat akan menjadi panutan dan dokter Anda dan Anda menjadi pasiennya. Faktanya, menurut para intelektual ekonomi politik, satu-satunya pertumbuhan dan kemajuan yang dicapai dunia Barat terjadi melalui upaya pemiskinan dan penghancuran dunia yang belum maju (dunia ketiga).
Pada dasarnya, lapangan kajian ekonomi politik modern dipusatkan untuk memenuhi amanat sejarah tradisional untuk mengkaji perubahan sepanjang zaman melalui penggambaran masa lampau sebagai sesuatu yang terbentuk oleh sejumlah formasi sosial. Setiap formasi sosial dikaji dalam pengertian konflik-konflik sosial fundamentalnya masing-masing, yaitu konflik-konflik yang begitu terasa sehingga akhirnya memecahbelah masyarakat itu. Dalam tradisi ekonomi politik proses sejarah dikaji dengan meruntut perkembangan konflik-konflik atau kontradiksi-kontradiksi ini karena konflik-konflik ini sendiri berfungsi menuju ketertiban sosial itu kembali.
Ekonomi politik sebagai suatu pendekatan memiliki lebih banyak perhatian terhadap materialisme dibandingkan dengan marxisme klasik, namun ia dalam banyak hal berubah menjadi kritikus yang sangat tajam terhadap apa yang dikenal sebagai partai-partai atau gerakan-gerakan komunis dan sosialis, baik di masa lampau maupun di masa kini. Analisis ekonomi politik terhadap kapitalisme menggunakan beberapa konsep seperti pasar dunia, perdagangan, kapitalisme inti dan kapitalisme pinggiran. Konsep-konsep ini cenderung keluar dari model analisis marxis yang dominan, yakni bangsa, dan cara produksi bangsa itu.
Dalam kerangka ekonomi politik terdapat, sekurang-kurangnya dua bentuk teori pasar dunia. (1) Yang lebih kuno dan lebih terkenal, yang disebut aliran dependensi (dependency school) ada kaitannya dengan tulisan-tulisan Andre Gundar Frank dan sejumlah penulis lain di Amerika Latin; ia menekankan pada perkembangan dunia modern, dengan mempostulasikan hubungan antara pertumbuhan kekayaan di negara-negara industri di Barat dan perkembangan kemiskinan dari wilayah-wilayah pinggiran yang menghasilkan bahan-bahan mentah di pasar dunia itu. (2) Tulisan-tulisan Samir Amin yang berpengaruh di seluruh dunia pada sekitar tahun 1970-an. Sumbangan utama Amin adalah upayanya untuk mematahkan pandangan sejarah yang terpusat pada Barat dan dalam waktu lama mendominasi smeua disiplin ilmu. Dengan mempergunakan istilah-istilah wilayah inti (wilayah industri) dan wilayah pinggiran (wilayah-wilayah penghasil bahan-bahan baku) Amin bermaksud menjelaskan bahwa gagasan dominasi dan subordinasi tersebut tidak direproduksi sebab interdependensi unsur-unsur tersebut secara simultan tertangkap dalam berbagai dinamika lokalnya sendiri. Gagasan-gagasan ini diungkapkannya dalam tulisan-tulisannya, Accumulation on a World Scale dan Unequal Development. Misalnya, meskipun Frank memiliki pandangan untuk melihat Amerika Latin sebagai bagian dari pasar dunia sejak abad ke-16 dan karena itu tidak dapat dianggap sebagai bagian dari ekonomi feodal melainkan sebagai bagian dari ekonomi kapitalis dunia modern, Amin lebih jauh menunjukkan, berdasarkan penyeleksian bukti yang jauh lebih luas, bahwa wilayah-wilayah seperti Amerika Latin itu tidak sekedar merupakan bagian yang tergantung pada dasar dunia yang lebih luas, mengingat kawasan ini memiliki ciri umumnya sendiri, yakni fase-fasenya yang dapat diramalkan, (atau) dengan perkataan lain, sejarah, yang sebelum itu tidak terdeteksi.
Demikianlah ekonomi politik dapat pula membedah secara tajam gejala-gejala yang tidak saja bersifat ekonomi, tapi juga sosial pada berbagai kawasan, terutama akibat imperialisme.
Farouk Abdullah Alwyni MA, MBA
Chairman of CISFED
Jl Tanah Abang 4 No. 21 Jakarta – Indonesia