Berikut adalah pemikiran terkait upaya mengatasi kemiskinan untuk Gubernur dan Wakil Gubernur baru yang disampaikan oleh Chairman CISFED, Farouk Abdullah Alwyni dalam berbagai media elektronik:
PRESS RELEASE
Jakarta, 9 Mei 2017
Pengentasan Kemiskinan Agenda Penting Gubernur dan Wakil Gubernur Baru Jakarta
Berdasakan hasil penghitungan suara oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), pasangan nomor urut 3 Anies Baswedan-Sandiaga S. Uno mengungguli petahana Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat.
Anies-Sandi, sebagai pasangan pemenang Pilkada DKI Jakarta akan dilantik menjadi gubernur dan wakilnya untuk periode 2017-2022, pada Oktober mendatang.
Sebagai calon administratur Jakarta selanjutnya, yang juga berperan sebagai pelayan masyarakat, salah satu persoalan klasik yang harus dibenahi secara serius oleh gubernur dan wakil gurbernur tepilih adalah menurunkan angka kemiskinan masyarakat kota yang masih tinggi.
Badan Pusat Statistik (BPS) pada September 2016 mencatat garis kemiskinan DKI sebesar Rp 510.388 per kapita per bulan, dimana untuk garis kemiskinan makanan Rp 329.644 dan bukan makanan Rp 180.715 per kapita per bulan. Sepanjang 2007-2016, rata-rata proporsi pengeluaran untuk makanan penduduk Jakarta sebesar 62-66% sementara untuk pengeluaran non makanan 34-38%. Jumlah penduduk miskin di ibu kota berjumlah 385,84 ribu orang atau 3,75%.
Dibandingkan dengan September 2015, jumlah penduduk miskin meningkat cukup jauh dari 368,67 ribu orang atau 3,61%. Meningkatnya jumlah penduduk miskin ini salah satunya dipengaruhi oleh naiknya garis kemiskinan. Penduduk miskin merupakan penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan.
Selama September 2015-September 2016, garis kemiskinan mengalami kenaikan sebesar 2,02% dari Maret 2016-September 2016. Memang, jumlah penduduk miskin di Jakarta terbilang sedikit jika merujuk data BPS yang mengkategorikan angka garis kemiskinan berada di level Rp 510.388 per kapita per bulan. Namun harus digarisbawahi biaya hidup di Ibukota tebilang mahal. Artinya, jumlah penduduk miskin di DKI kemungkinan besar jauh lebih banyak ketimbang data yang dirilis BPS.
Persoalan-nya adalah apakah cukup hidup di Jakarta dengan pendapatan Rp 500.000 ? Idealnya minimum biaya hidup di Ibukota adalah Rp 2,5 juta untuk bisa dikatakan keluar dari level dibawah garis kemiskinan. Pasalnya untuk dikatakan bisa hidup layak saja di Jakarta, warga setidaknya membutuhkan biaya sebesar Rp 7,5 juta per bulan apabila merujuk survei lima tahunan BPS dengan Indek Harga Konsumen (IHK) tertinggi.
IHK menghitung rata-rata pengeluaran untuk barang dan jasa per rumah tangga di sebuah kota.
Atas dasar itu, Anies-Sandi sebagai gubernur baru harus bekerja esktra untuk meningkatkan pendapatan warga kota Jakarta.
Tingkat kesejahteraan warga DKI bisa meningkat jika pertumbuhan ekonomi terus dipacu. Pada 2016 lalu, pertumbuhan ekonomi DKI masih stagnan di angka 5,85%. Meski selisih pertumbuhan ekonomi antara Jakarta dengan perekonomian nasional masih cukup lebar pada 2016, tingkat pertumbuhan ini harus didorong karena lebih rendah ketimbang 2015.
Untuk menjaga pertumbuhan ekonomi tetap tinggi, pemerintahan baru perlu memperhatikan beberapa faktor.
Pertama, menciptakan iklim investasi yang aman dan nyaman. Pemerintah DKI harus terus mendorong penanaman modal baru untuk menggerakan sektor perekonomian. Caranya, ciptakan kemudahaan dalam berinvestasi seperti perizinan yang didukung dengan pengelolaan birokrasi yang melayani, akuntabel dan transparan. Hal lainnya, supremasi hukum yang tegas dan jelas sehingga birokrasi dan aparat penegak hukum yang korup bisa diminimalisasi.
Kedua, peran pemerintah DKI dalam melindungi dan memfasilitasi UKM harus menjadi spirit birokrasi sebagai pelayan publik. Pemerintah tidak hanya memberikan karpet merah bagi pengusaha menengah dan besar, tapi harus menyokong penguatan usaha kecil dan mikro dengan menyediakan tempat usaha dan permodalan, bukan menggusur atau mengusir mereka. Tugas pemerintah adalah menjamin warga mendapatkan kesempatan yang sama dalam ekonomi. Kalau peran ini lemah, atau pemerintah lebih condong ke pengusaha besar, maka persoalan kemiskinan di level bawah tidak akan selesai. Dengan memiliki akses terhadap sektor ekonomi, UKM bisa meningkatkan pendapatan yang pada akhirnya tejadi perbaikan kualitas hidup.
Ketiga, bagi warga yang berada di bawah garis kemiskinan, pemerintahan Anies-Sandi kelak harus tetap menyediakan instrumen jaring pengaman sosial dengan skema tunjangan sosial. Di negara maju seperti Amerika Serikat dan Inggris misalnya, tunjangan sosial bulanan bagi penduduk miskin tetap diberikan, karena hakikatnya negara harus hadir dan berperan dalam melindungi warga miskin.
Keempat, PR yang harus dituntaskan oleh Anies-Sandi adalah melanjutkan reformasi birokrasi agar struktur pemerintahan lebih ramping, sehingga kinerjanya efektif dan efisien. Postur birokrasi saat ini masih gemuk yang berdampak pada masih tingginya biaya rutin atau pegawai ketimbang anggaran infrastruktur dan layanan publik lainnya. Perlu upaya radikal untuk merampingkan organisasi birokrasi. Salah satunya jalan yang bisa ditempuh adalah melanjutkan moratorium rekrutmen PNS untuk lembaga atau instansi yang kinerjanya tidak produktif.
Kelima, kerjasama dengan wilayah penyangga. Jakarta masih menjadi magnet bagi masyarakat urban. Kehadiran warga pendatang yang minim keahlian dan keterampilan akan menjadi beban sosial dan ekonomi bagi Jakarta.
Di sisi lain, aliran kaum urban juga menjadi bukti gagalnya pemerintah daerah dalam menggerakan roda perekonomian di daerah. Untuk itu, perlu kerjasama antara DKI dan daerah penyangga dalam penanganan urbanisasi dengan menciptakan basis ekonomi produktif di daerah.
Farouk Abdullah Alwyni
Chairman, Center for Islamic Studies in Finance, Economics, and Development (CISFED)
**********